Menyesal sekali aku bila ingat hal itu. Entah perasaan apa yang berkecamuk dalam hati. Nafsu yang segera dipadamkan demi citra diri, atau sengaja berdiam seolah tak mengerti. Ketika mengobrol dengan teman wanita. Saya begitu menghormatinya sebagai wanita dari ibu seorang anak yang menjadi teman kelas anakku. Perbincangan yang lugas dan penuh canda tawa di sela waktu kelas bubar. Maaf kancing baju bagian atasnya lepas satu. Meski tidak berdampak berlebih terhadap apa yang terpandang namun membuatku jadi rikuh. Bila
geraknya berlebih, tentu pergerakan itu membuyarkan konsentrasiku dalam
bercakap, meski saya yakin benar beliau tak akan bisa mencerna
kegugupanku yang selalu tersembunyi oleh selera humorku.
Di situlah perdebatan
batinku berulang terjadi. “ Kasih tahu itu, jangan kau biarkan kasihan
dia.., itu bagian dari bagian engkau berbuat baik, lindungi dia dari
tatapan-tatapan penuh kesumat itu, matamu cukup culas untuk bermain
dalam sudut sempit, itu kesempatan bagimu untuk menjadi pria terjujur
bahwa engkau menolak menjadi manusia berotak kotor.” Bagitu suara
hatiku. Menjadi pahlawan yang melindungi aib wanita. Namun niat itu
buru-buru padam oleh suara hati yang satunya.
“ Biarkan saja, jangan
sok alim, nikmati saja.. kau tak salah, bukankah hal itu bukan ulahmu?
Nasehatmu bisa jadi bumerang, bila ternyata ia merespon berbeda atas
kebaikan yang kau tebar, bisa saja ia menuduh kau telah mencuri pandang bahkan
telah menikmati lebih lama. Berdiam saja, itu lebih baik daripada
engkau terpojok dalam hal ini…” jujur percakapan kami kerap tidak
nyambung. Aku lebih sering gugup dan berdebat sendirian. Bila
ternyata perbincangan itu tak kumengerti, aku memintanya untuk
mengulang. Atau cukup dengan merespon ucapan-ucapannya dengan senyuman.
Namun bila ia mendadak terdiam, aku kebingungan untuk mencari bahan
obrolan.
“ Kau lelaki kurang
ajar ya? dimana tata nilaimu? Kau habiskan waktumu untuk berbuat baik.
Padahal jika engkau memilih detik detik diawal setelah kau menyadari
ketidakberesan itu, kau terselamatkan dari zina mata, cepatlah kau bertindak..meskipun itu beresiko, itu lebih membuatmu bermartabat..!” bisikan itu datang lagi. Sepertinya aku harus secepatnya mendengarkan suara hati suci ini. ini suara hati terdalam tanpa ada bumbu-bumbu lain. Tapi, belum sempat bibir ini berucap, sudah terngiang lagi bisikan versi dua.
“ Ah, tolol sekali
kau! Muka kamu saja yang sering kau tampakkan bersahaja dan agamis,
namun matamu sering jelalatan. Kau pikir dengan nasehat itu kau merasa
menjadi manusia suci? Ingat, matamu itu belum terjaga benar, kau ingin
nampak menjadi suci dengan kebaikan macam itu? ah, seperti nya kau ini
pahlawan kesiangan. Lebih baik kau tinggalkan wanita itu, tak perlu kau membahas hal itu. tak penting!”
Aku benar-benar tak bisa memilih suara mana yang meski aku turuti. “ Bertindaklah, meski itu pahit akibatnya, jika itu kebenaran, lakukan! Lakukan!” begitu
pangkas kata hati satunya yang merasa geram dengan bisikan yang lain. “
Maaf mbak,,, kancing bajunya..terlepas..” Ucapku pelan sambil membuang
pandangan. Ia nampak kaget dan gugup namun segera berbenah dengan cepat.
Saya benar-benar nerveous. Hingga beberapa detik tak ada obrolan. Mukanya nampak memerah sambil mengulum senyum yang tak bisa kuartikan.
“ Nah sudah bubar itu
mbak…?” ucapku. Iapun mengganguk dan segera bangkit menyambut buah
hatinya. Sejak saat itu, kami jarang ngobrol. Bila ketemu ia hanya
tersenyum lalu berlalu. Momen
kecil itu mungkin selalu muncul saat perjumapaan-perjumpaan kami.
Entahlah, apakah aku salah atas semua itu? dan apakah ia menaruh dendam
atas sikapku yang terlalu berani itu? Aku belum tahu, dan benar-benar tak ingin tahu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar