Barangkali Kita lah Dajjal (Manusia Bermata Satu) Itu?

“Ada hal yang mendera umat beragama hari ini, dimana atas nama modernisasi perbincangan masalah agama (keTuhanan) dianggap tabuh dalam ranah-ranah diskusi sosial. Bukti ini menjadi penjelas bahwa hari ini kita benar-benar sedang berada di era baru yang menyeret (secara sadar atau tidak sadar) manusia beragama ke dalam pola fikir sekuler (memisahkan urusan dunia dan urusan hari kebangkitannya/akhirat). Barangkali, inilah yang dimaksudkan sebagai FITNAH DAJJAL secara filosofis. Dimana kita digiring untuk melihat dengan satu mata saja (melihat dunia dan buta akan akhirat).”

Benar saja, bahwa kenyataanya hari ini Manusia akan dinilai aneh oleh kebanyakan orang jika dalam ranah sosial berdiskusi atau membincangkan persoalan agama. Sepertinya masalah agama hanya pantas dibahas di dalam masjid-masjid atau ruang kelas dimana pelajaran tersebut memang dibawakan oleh Dosen /Guru yang bersangkutan. Bahkan, yang menjadi sangat memprihatinkan adalah generasi muda, generasi yang akan menggantikan generasi sebelumnya yang semakin hari semakin tabuh untuk berbicara tentang agama. Bahkan trend yang terjadi adalah jika ada diantara pemuda itu yang berusaha membincangkan agama akan dilirik aneh dan bahkan sampai dikucilkan oleh mereka dan pada akhirnya mereka hindari untuk berdiskusi dengannya. Lalu apa yang akan terjadi? tentu saja sudah bisa kita tebak bahwa kemerosotan moral generasi ini akan semakin menakutkan dan kehilangan jati diri keberTuhanannya. Dan masa depan yang ada tentu akan diserah kendali kepada generasi tersebut cepat ataupun lambat.

Nah, tentu saja sangat mengerikan saat mebayangkan hal tersebut. Sehingga kita perlu memikirkan suatu upaya untuk men’cunter’ hegemoni tersebut dengan terlebih dahulu mencari tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya? Barangkali sudah teramat jelas bahwa yang terjadi adalah hegemoni kaum materialisme yang menggiring manusia untuk memandang materi sebagai wujud hakiki kehidupan untuk mencapai bahagia. Dan sepertinya upaya ini berhasil mencapai tujuannya, dikarenakan semakin banyak dari generasi muda saat ini yang hanyut di dalamnya (sadar ataupun tidak sadar). Pemahaman kita dipaksa untuk menerima bahwa segala bentuk keindahan dunia bisa kita dapatkan dan menjadikan kita bahagia dengan mencontoh “model ideal” kaum materialis, yang mana sudah disiapkan sebagai figur yang selalu ditampilkan oleh media. Mulai dari cara berfikir yang menuntut kita untuk harus punya uang banyak agar bisa membeli banyak kebutuhan barang atau jasa yang menjadikan kita bahagia, cara hidup yang menjadikan setiap waktu kita berharga untuk uang dan mencari uang, dan bahkan sampai cara berbicara kita diatur sedemikian rupa untuk bisa dikatakan sebagai manusia yang mengerti tata krama agar menjadikan kita bangga di hadapan manusia lainnya. Intinya semua serba mengarah kepada keduniaan.

Melihat realitas ini, bagiku tak terlalu mengejutkan. Karena sebagaimana yang diyakini oleh umat yang beragama bahwa akan muncul DAJJAL di akhir zaman sebelum dunia ini berakhir. Dajjal adalah sosok manusia bermata satu yang akan menimbulkan kekacauan di dunia ini dengan membawa fitnahnya yang besar dan membuat manusia lupa akan Tuhannya dikarenakan dajjal bahkan dianggap sebagai Tuhannya. Aku sedikit tercengang bahwa inilah yang terjadi hari ini. meskipun sosok Dajjal (sebagai Manusia bermata satu) itu belumlah disaksikan secara langsung fisiknya. Namun, yang harus disadari bahwa makna yang disampaikan oleh Para Nabi (Pembawa Rislah KeTuhanan) bukan hanya bermakna denotatif, tapi juga konotatif bahkan memiliki makna filososfis. Nah, yang menarik bahwa makna Dajjal sebagai Manusia bermata satu sebenarnya sudah ada dan nyata dalam diri manusia hari ini. Bahkan mungkin juga sudah menjangkit diri-diri kita tanpa disadari. Kenyataannya bahwa kita yang terlahir sebagai Manusia lalu kemudian hanya melihat dengan sebelah mata saja kepada keindahan dunia dan hanyut di dalamnya dan membuat pandangan kita rabun bahkan sampai buta untuk melihat akhirat. Yah, fitnah Dajjal sudah tersebar dimana-mana bersamaan saat kita mulai berfikir ala kaum materialisme dan hidup dengan pola hidup mereka. Kitalah calon-calon Dajjal itu, sekiranya kita tak mampu membebaskan diri dari melihat hanya dengan satu mata saja pada keindahan dunia lalu membutakan mata kita untuk meykini akan keabadian akhirat.

Sekarang, kita sebagai manusia tinggal memilih mau menjadi Dajjal atau bebaskan diri dari fitnahnya. Tentu saja dengan tidak memisahkan urusan akhirat dari urusan dunia (non sekularisme). Hidupkanlah kembali diskusi tentang keTuhanan dimanapun kita berada.
»»  READMORE...

Lihat yang Baik, amati yang Buruk!



Seringkali manusia tidak melihat pada dua sisi. Lebih memilih pada zona nyaman dan aman mereka. Yang buruk dan jahat tidak begitu peduli dengan kehidupan tertib, alim, sopan dan bermartabat. Begitu pula orang-orang baik yang terhormat dan penuh wibawa jarang sekali atau mungkin tidak pernah melihat kehidupan yang kejam dan kelam.

Tidak banyak memang dalil-dalil agama, teori-teori sosial yang secara khusus memerintahkan agar orang kerap kali melihat pada dua sisi (baik dan buruk). Namun, secara hati dan perasaan ini tidak keliru. Tujuan utamanya agar orang itu jangan tenang dan senang dalam keadaannya yang mapan. Orang yang berkehidupan penuh kekurangan dan kemiskinan yang menjalur pada kejahatan agar memiliki refrensi bahwa agama itu ada, Tuhan masih punya kuasa dan tak semua pejabat menjadi bejat. Bisa juga orang bermartabat, kedudukan tinggi, para kyai dan santri yang sedang tholabul ilmy yang digadang-gadang berkehidupan terang penuh bimbingan juga sudah selayaknya melakukan hal serupa. Menengok sebentar atau lama kehidupan di pedalaman yang malah belum mendalami agama. Di perkotaan yang mulai meremehkan peran agama dan susila.

Pada intinya, yang terang membutuhkan kegelapan agar benar-benar terlihat bahwa mereka terang. Namun sekuat tenaga sudah sewajarnya jika cahaya yang mampu menerangi kegelapan untuk mengikis terus menerus kegelapan. Kegelapan yang bukan sekedar gelap dan hitam. Bukan pula cahaya penuh sinar cerah yang kadangkala memunculkan dan memperlihatkan wujud serta warna benda yang disentuhnya. Sekali lagi, lihat yang baik, Amati yang buruk. Tinggalkan zona nyamanmu.

»»  READMORE...

Elastisitas Perasaan.


Saya mendengar istilah elastisitas perasaan pertama kali dari status penulis favorit saya yakni Darwis Tere Liye. Ini kutipan status tersebut :

Ketika seseorang awalnya memuja-muja, menyanjung-nyanjung, terlihat cinta dan sayang sekali, tapi kemudian sakit hati oleh sesuatu. Maka sungguh, semuanya akan berputar balik, menjadi kebencian yang besar sekali, lebih besar dibandingkan kalau sebelumnya dia tidak terlanjur suka.

Inilah rumus ‘elastisitas perasaan’.
Saya tersadar selama ini rasa sakit yang saya alami karena terlanjur, terlanjur suka dan terlanjur ngarep. Hal-hal yang membuat galau, complicated dan rasa ingin nyampah di sosial media disebabkan oleh ketidakmampuan saya mengendalikan perasaan. Saat sedang menginginkan sesuatu saya bisa menghabiskan waktu ‘memikirkan’ cara untuk mendapatkan keinginan saya.

Padahal jika saya mau bersabar dan belajar mengendalikan perasaan tentunya rasa galau akan menjauh dari kehidupan saya.

Saya belum bisa mengendalikan perasaan sehingga untuk mengalihkan rasa galau itu saya sering menulis blog atau nyepam di media sosial *uhuk. Karena menulis itu bisa buat hati saya lebih enteng. Pun saat menulis ini hati saya sedang kacau. Perasaan ngarep pada seseorang yang sering saya sebut di lini masa berbalik melukai saya saat saya melihatnya tersenyum dengan perempuan lain *nyanyi.

Benar-benar kacau. Rasanya ingin sekali membanting apapun di depan saya.
Andai perasaan suka itu tak pernah hadir. Andai saya tak membiarkannya berkembang menjadi rasa ngarep. Andai pengendali perasaan dijual murah di apotek 24 jam.

Biar, biarlah.
Setidaknya hati saya masih berdetak. Berdegup kencang saat melihatnya.
»»  READMORE...

"Belum Merdeka" di Negara Merdeka.

- Tujuh belas Agustus tahun empat lima - Itulah hari kemerdekaan kita - Hari merdeka nusa dan bangsa - Hari lahirnya bangsa Indonesia - Merdeka - Sekali merdeka tetap merdeka - Selama hayat masih di kandung badan - Kita tetap setia tetap setia - Mempertahankan Indonesia - Kita tetap setia tetap setia - Membela Negara kita -

Syair yang diberi judul ‘Hari Merdeka’ adalah anggitan H Mutahar. Seorang seniman besar yang karya ciptanya tidak lekang oleh zaman. Sayang anak-anak zaman mulai meninggalkan simbolisasi dan semangat yang dikobarkan H Mutahar.



Kesejahteraan Tidak  Merata

Selain ditinggalkan anak-anak zaman, simbolisasi dan semangat yang dikobarkan H Mutahar untuk senantiasa setia mempertahankan Indonesia, ternyata tidak banyak digubris penyelenggara Negara. Pemerintah, pejabat publik dan anggota dewan lebih suka membincangkan dan menggerakkan kehidupan politik praktis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Penyelenggara negara  terlihat enggan memikirkan nasib rakyatnya. Mereka setengah hati dalam menyejahterakan hidup dan kehidupan rakyatnya. Parahnya, mereka abai memberi perlindungan agar rakyat dapat terus hidup dan merdeka. Mereka membiarkan hidup dan kehidupan di negara ini dikuasai sekelompok elit politik dan segolongan orang berduit. Dampaknya,  garis kesejahteraan rakyat tidak  merata.

Dampak turunannya, pesimisme rakyat makin menderu saat pemerintah, pejabat publik, anggota dewan dan elit politik tidak menjalin hubungan kekeluargaan yang didasarkan pada semangat untuk melindungi dan melayani masyarakat berdasarkan asas komunikasi fungsional bukan komunikasi struktural. Dampak moral dan sosialnya, muncullah tragedi kekerasan, kejahatan dengan pemberatan dan ketegangan sosial di berbagai daerah.

Kenapa kekerasan sosial selalu muncul di depan mata rakyat Indonesia? Ditengarai karena pemerintah melakukan pembiaran atas tumbuh suburnya berbagai kekerasan okol (otot), terorisme, radikalisme, dan kriminalitas yang digerakkan orang-orang jahat di Indonesia. Sementara itu, kejahatan publik yang menjadi basis kekuatan kriminalitas dan radikalisme merebak akibat kekecewaan rakyat terkait dengan kehidupan sosial ekonomi yang timpang serta tidak berkeadilan sosial bagi masyarakat luas.

Masih Terjajah

Meski sudah memasuki momentum 68 tahun Indonesia merdeka, tetapi realitas sosialnya rakyat Indonesia semakin terjajah. Lihatlah misalnya, lidah sebagian rakyat Indonesia dikendalikan produk kuliner bercitarasa luar negeri. Adat istiadat dan kebudayaan asli digempur dan dipaksa untuk ditinggalkan hanya dengan alasan agar dianggap sebagai orang modern. Beragam sinetron, talkshow, dan pertunjukkan musik  hasil tiruan televisi asing, menyuburkan jejaring penjajah industri tontonan di negeri ini. Akibatnya, lahirlah budaya visual yang membelit rakyat Indonesia lewat program ideologi pembodohan yang secara sistematis dimasukkan ke dalam otak rakyat Indonesia. Rakyat pun selalu diposisikan sebagai bangsa konsumen yang ditaklukkan dengan ideologi budaya instan, gaya hidup modern berbasis budaya layar yang  konsumtif dan  hedonis.

Jika pemerintah, pejabat publik dan anggota dewan  tidak segera berbenah diri,  rakyat pun semakin bersedih. Ketika rakyat dirundung kesedihan permanen, maka kawula alit merasa hidup sendiri tanpa perlindungan dari pemerintah dalam melangsungkan hidup dan kehidupannya di bumi Indonesia ini. Jika hal itu terjadi, maka ketakutan masyarakat pun akan mewujud dalam sebuah mitos yang bertajuk belum merdeka di negara merdeka.

Wahai pejabat publik dan anggota dewan, rakyat menunggu janjimu sebagai pelayan masyarakat yang senantiasa melayani dan memayungi masyarakat dalam suka dan duka. Bukan sebagai penguasa yang menguasai rakyat.

Selamat memperingati hari merdeka, meski kita belum merasakan sebuah kemerdekaan di sebuah negara yang katanya sudah merdeka.
»»  READMORE...

Dibilang Pencintraan, Itu Terserah..

Pencintraan diartik an dari apa yang telah dilakukan sebagai upaya kita untuk membanggakan diri. Jika orang menggangapnya seperti itu; “terserah mereka”. Kita hanya harus berbuat apa yang harus kita perbuat selama hal itu tidak bertentangan antara akal sehat dan hati nurani kita.

Kerja keras sering diartikan sebagai pencintraan, itu tergantung dari individunya sendiri, apakah dia bekerja keras dengan maksud untuk dirinya sendiri saja atau untuk sesama. Maka dari itu lebih baik bekerja keras untuk hal-hal yang berguna daripada sekedar bekerja keras “ngomongin orang”, “mengeluh”, “merasa telah bekerja keras tetapi tidak berbuat apa-apa”. Maka dari itu kerja keras sangat indentik dengan “ More Action” not “More Talk“.

Saya ingin menerapkan hal ini dalam kehidupan sehari-hari saya, tidak lagi hanya sibuk berjam-jam dengan rutinitas media sosial: facebook, twitter, dan masih banyak lagi, karena media sosial membuat saya addicted (saya akui itu), dan terkadang membaut emosi menjadi terganggu. Saya ingin lebih banyak bisa menjadi seseorang yang produktif, dalam arti sibuk dengan hal-hal yang positif yang dapat mengasah potensi dalam diri saya dan tentunya potensi itu harus berguna bagi sesama dan yang terpenting dibalik kesibukan kita adalah jangan lupa juga dengan pergaulan karena manusia sendiri adalah makhluk sosial.
»»  READMORE...

Pemuda Indonesia “Doeloe dan Cekarang”

“Wahai Pemuda Indonesia, Tulisan ini semoga menjadi penyadaran , semoga sebagai momen tepat untuk kembali ke Jalan lurus.”



Apa itu definisi Pemuda ? Berbedakah dengan Anak muda? Ya, saya harus katakan pemuda dan anak muda itu berbeda. Pemuda adalah seseorang dengan batasan usia 12 hingga 29 tahun,jika dilihat dari segi usia. Namun menurut saya pemuda merupakan Seorang manusia dengan Tekad besar dan jiwa bergelora yang siap tampil di masyarakat, baik masyarakat sekitar hingga dunia. Sedangkan Anak muda lebih cenderung menunjukan presepsi pengkondisian sepihak yang tidak menuju sama dengan definisi pemuda.

Yang akan saya bahas di sini adalah hilangnya jiwa spririt pemuda Indonesia. Pemuda merupakan komponen penting dalam suatu bangsa. Betapa hebatnya pemuda, hingga Soekarno berani membandingkan 10 orang pemuda dengan 1000 gunung untuk membangun negeri ini. Nah, yang terjadi sekarang di usia yang hampir 68 tahun, negara ini seperti kehilangan spirit Kepemudaan yang memiliki loyalitas tinggi terhadap bangsanya ini. Pemuda Indonesia kini seperti tidak memiliki arah , visi, atautujuan. Pemuda yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembangunan Negara justru terlihat sepi tidak ada nyaringnya. Walaupun masih ada beberapa Pemuda kita yang dapat mengharumkan nama bangsa, tapi sepertinya pemuda kita terlanjur terlena dan terlelap tidur dalam kenyamanan ini.

Mungkin jika kita bandingkan kondisi pada zaman kini dengan saat penjajahan, perbedaanya terlalu jauh sekali. Dulu Rela tidak makan, dulu rela tidak tidur, rela kehilangan rumah, rela angkat kaki dari tempat tinggalnya, bahkan rela mati, semuanya bersatu demi kemerdekaan. Pemuda lebih identik dengan semangat perjuangan. Namun, kini pemuda Indonesia sudah terserang berbagai virus buruk, bahkan hampir collapse, tidak punya jati diri. Kita seperti tidak memiliki budaya. Kiblat pemuda kita seperti berpindah ke semenanjung korea, dunia eropa, atau negeri amerika. Seperti kaget terhadap Kebebasan yang tak terarah, dan kehilangan kontrol. Bahkan antarpemuda juga saling tawuran, bunuh membunuh, pakai narkoba jadi pecandu, seks bebas,dll.

Bayangkan saja , jika semangat pemuda Indonesia kini dalam mengisi kemerdekaan sama dengan saat-saat era kemerdekaan, Mungkin akan lebih banyak Tantowi-Liliana atau Ahsan-M.Hendra lain, akan lebih sering menang timnas sepakbola kita dan malah tidak dihujat , akan ada Budaya-budaya Indonesia yang mendunia, dan akan banyak lagi. Di era teknologi kini, pemuda kita hanya lebih sering dijadikan sebagai pasar ampuh, kita hanya pemakai. Andai saja kita bisa bangkit, dan lebih kreatif serta inovativ maka kita bisa menciptakan hal yang lebih positif.

Penyebab terbesar dari semua ini mungkin adalah kenyamanan, karena itulah hal yang mendasari perbedaan pemuda dulu dan sekarang. Kenyamanan telah membuat kita lengah, tak sadar kita telah kalah start, dan tertinggal jauh. Harus ada penggerak, jangan sampai kita menyesal di akhir, karena kelemahan kita sebagai pemuda , bangsa ini menjadi hancur dan diserang keutuhanya. Perlu ada Semangat baru , perlu ada visi dan tujuan yang pasti. Tinggalkan masa kelam pemuda, raihlah Kemerdekaan yang sesungguhnya.
Salam Bertindak !!!
»»  READMORE...

SARA? Benarkah Tidak Penting?

SARA.

Adalah akronim yang ngetop sejak jaman Orde Baru. Suku, Agama, Ras, Antar-golongan.
Hingga saat ini isyu SARA masih jadi hal yang laris dihembuskan. Terutama dalam bidang politik. Apa lagi yang mau dicapai kalau bukan kejatuhan lawan politik? Tapi kini masyarakat sudah cukup cerdas. Tak mau lagi menanggapi masalah (isyu) SARA.

Tapi benarkah SARA bukan lagi masalah yang penting untuk kehidupan?
Dalam kehidupan bermasyarakat, perpecahan ‘hanya’ karena masalah SARA betul-betul hal yang kurang cerdas. Keberagaman adalah mutlak, karena tidak ada orang yang persis sama 100% di dunia ini. Jadi isyu SARA memang tak penting lagi.

Tapi bagaimana dengan urusan cari pasangan hidup?
Mau tak mau, sadar tak sadar, penting sekali untuk tetap memilih calon pasangan hidup berdasarkan SARA. Setidaknya untuk huruf A yang pertama.

Agama bisa dikatakan landasan hidup orang yang beriman pada Tuhan. Setidaknya, bila dua orang sudah memutuskan hendak hidup bersama secara legal, agama yang sama bisa memudahkan perjalanan ke gerbang perkawinan. Selanjutnya, landasan keimanan yang sama tentu memudahkan kita untuk mengarungi kehidupan dalam bahtera yang sama. Dalam menjalani kehidupan bersama sesuai ajaran agama yang sama, setidaknya tidak akan ada keributan tentang dalil-dalil yang berbeda. Akan lebih mudah lagi bila mencari calon pasangan yang sudah sama imannya.

Tentang huruf S. Suku. Jaman sekarang kelihatannya sudah tak relevan lagi bicara soal kesukuan. Toh kita ada dalam satu Indonesia Raya. Tapi benarkah tak lagi penting bila sudah masuk ke urusan pasangan?

Mayoritas orang, secara sadar atau tidak, memilih calon pasangan hidup dari suku yang sama. Hal ini tak lepas dari lingkungan tempat kita berada. Kalau ketemunya ‘lu lagi, lu lagi’, yang memang berasal dari suku yang sama, ya apa mau dikata?
Kesamaan suku bisa berarti kesamaan budaya, bahasa (daerah), pola hidup, dan sistem kemasyarakatan. Adalah manusiawi kalau manusia ada yang tak mau repot dengan tantangan perbedaan. Di sinilah pilihan kesamaan suku menjadi hal yang penting walaupun ada dalam pikiran bawah sadar.

Tentang huruf R dan A, saya pikir tidak perlu dibahas karena tidak terlalu penting. Karena urusan Ras itu urusan selera. Begitu juga untuk huruf A kedua, Antar-golongan, karena kita hidup dalam masyarakat yang begitu majemuk, hingga golongan jadi tak terpikirkan lagi.
Jadi, SARA masih penting kan? Dalam hal mencari calon pasangan hidup. Setidaknya untuk huruf A yang pertama.
»»  READMORE...