Elastisitas Perasaan.


Saya mendengar istilah elastisitas perasaan pertama kali dari status penulis favorit saya yakni Darwis Tere Liye. Ini kutipan status tersebut :

Ketika seseorang awalnya memuja-muja, menyanjung-nyanjung, terlihat cinta dan sayang sekali, tapi kemudian sakit hati oleh sesuatu. Maka sungguh, semuanya akan berputar balik, menjadi kebencian yang besar sekali, lebih besar dibandingkan kalau sebelumnya dia tidak terlanjur suka.

Inilah rumus ‘elastisitas perasaan’.
Saya tersadar selama ini rasa sakit yang saya alami karena terlanjur, terlanjur suka dan terlanjur ngarep. Hal-hal yang membuat galau, complicated dan rasa ingin nyampah di sosial media disebabkan oleh ketidakmampuan saya mengendalikan perasaan. Saat sedang menginginkan sesuatu saya bisa menghabiskan waktu ‘memikirkan’ cara untuk mendapatkan keinginan saya.

Padahal jika saya mau bersabar dan belajar mengendalikan perasaan tentunya rasa galau akan menjauh dari kehidupan saya.

Saya belum bisa mengendalikan perasaan sehingga untuk mengalihkan rasa galau itu saya sering menulis blog atau nyepam di media sosial *uhuk. Karena menulis itu bisa buat hati saya lebih enteng. Pun saat menulis ini hati saya sedang kacau. Perasaan ngarep pada seseorang yang sering saya sebut di lini masa berbalik melukai saya saat saya melihatnya tersenyum dengan perempuan lain *nyanyi.

Benar-benar kacau. Rasanya ingin sekali membanting apapun di depan saya.
Andai perasaan suka itu tak pernah hadir. Andai saya tak membiarkannya berkembang menjadi rasa ngarep. Andai pengendali perasaan dijual murah di apotek 24 jam.

Biar, biarlah.
Setidaknya hati saya masih berdetak. Berdegup kencang saat melihatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar